Bila Matohara Jadi Pintu Surga Wakatobi
(Re-post)
Sumber : Gatra Nomor 6 Beredar Kamis, 20 Desember 2007
20 Desember 2007
Dari jarak 500 meter, hamparan pasir putih di Pantai Pulau Hoga tampak sepi. Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan manusia di atas pesisir pulau nan cantik di Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, itu. Padahal, untuk sampai di Hoga, hanya dibutuhkan waktu 40 menit dengan perahu motor dari Wanci, sebuah kota cukup ramai di Pulau Wangiwangi yang ibukotanya Wakatobi.
Turun dari speedboat, baru tampak ada belasan pekerja bangunan yang sedang rehat makan siang di sebuah pondok. Lokasinya tak begitu mencolok karena terlindung rimbun pepohonan. Mereka melahap nasi kasuami, masakan khas Wakatobi, ditemani ikan bakar dan sayur. Beberapa unit resor telah berdiri setengah jadi. Toh, kegiatan mereka seperti tak mengusik keheningan Pulau Hoga.
Kehidupan Pulau Hoga tidak berdentang di daratan. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wakatobi memang ingin membiarkannya tetap sunyi dengan tidak mengizinkannya dihuni secara permanen. Kalaupun resor boleh berdiri, itu dalam jumlah terbatas dan dioperasikan dalam format wisata alam yang tidak eksploitatif. Maklum, Pulau Hoga menjadi bagian dari Taman Nasional Wakatobi.
Kehidupan Hoga sendiri ada di bawah laut. Ada kesibukan yang luar biasa di sana. Hanya dengan berenang sejauh 15-20 meter dari bibir pantai, kita sudah sampai di perairan bening sedalam 3 meter. Cukup pula dengan modal kacamata air dan corong pernapasan (snorkel), kita sudah bisa menikmati panorama kehidupan bawah laut yang indah. Ada terumbu karang warna-warni yang tumbuh menawan bak taman bunga.
Taman laut itu makin beraneka ragam bila kita menyusur ke tempat yang makin dalam. Pada jarak 100 meter dari pantai, di kedalaman 10 meter, tampaklah gerumbul vegetasi laut yang makin mempesona. Variasi bentuk dan warna karang laut yang menghuni tempat itu seperti tak terhitung banyaknya. Semua spektrum warna ada di sana. Secara keseluruhan, kawasan Wakatobi menyimpan kekayaan berupa 396 spesies karang laut. Terkaya di dunia.
Perairan Karibia, yang kondang dengan wisata lautnya, belum cukup menjadi tandingan Wakatobi. Di Karibia hanya ada 50 jenis karang. Laut Merah, yang dikenal sebagai gudang terumbu karang, hanya punya koleksi 300 jenis. Belum lagi kekayaan aneka ragam ikannya. Di Wakatobi tercatat ada sekitar 600 spesies ikan.
Jangan heran bila di antara terumbu karang di Pantai Hoga itu terdapat pelbagai jenis ikan yang tenang berenang ke sana-kemari. Ada ikan napoleon, kerapu bebek, takhasang, atau argus bintik yang cantik. "Surga laut itu ada di Wakatobi," ujar Ir. Hugua, bupati di kabupaten kepulauan itu.
***
Nama Wakatobi baru muncul pada 1996, dengan merangkum nama empat pulau utama di kawasan itu, yakni Wangiwangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Sejak itu pula, perairan ini ditetapkan sebagai taman nasional. Sebelumnya, ia disebut Kepulauan Tukang Besi, termasuk Kabupaten Buton. Kepulauan yang hanya memiliki daratan seluas 820 kilometer persegi, berpenduduk 100.000 jiwa, dan memiliki kawasan laut seluas 18.000 kilometer persegi itu mekar menjadi kabupaten sejak 2003. Dari luas keseluruhan, 3.070 kilometer persegi di antaranya menjadi kawasan taman nasional.
Sebagai kepala daerah, Ir. Hugua menyadari harus membangun daerahnya tanpa mengusik taman nasional. Maka, ia ingin "menjual" kekayaan laut untuk ekowisata. Ia tahu, daerahnya diakui sebagai surga laut. Sejumlah milyarder dunia, termasuk "raja software" Bill Gates, pernah datang menikmati panorama surga Wakatobi. Tapi Hugua ingin lebih banyak turis yang berkunjung. Tidak cukup hanya orang berduit yang datang dengan pesawat khusus ke resor swasta yang punya air-strip, landasan pacu mini, karena rakyat tak kecipratan rezekinya.
"Visi kami sekarang ialah bagaimana menciptakan surga di darat," ucap Hugua. Maksudnya, ia harus mengelola sumber daya laut, porsinya 97% dari luas daerah, untuk kepentingan rakyatnya. Hugua, putra asli Wakatobi ini, lantas memaparkan aset daerahnya di luar laut, yakni 39 pulau, tiga gosong, dan tiga atol. Sebuah kawasan eksotik.
Hugua merasa kesulitan mengamankan daerahnya dari pencuri karang laut dan penjarah ikan. Laode Hajifu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, merasa sering kecolongan. Armada yang dimilikinya tak kuasa melumpuhkan mereka. "Saya pernah ditertawakan oleh mereka," kata Hajifu, mengenang pada saat kapalnya terengah-engah memburu kapal pencuri ikan dari negara tetangga. Mesin kapal penjarah lebih kuat dibandingkan dengan mesin perahu petugas.
Yang kini menjadi titik perhatian Laode Hajifu ialah bagaimana masyarakat dapat menikmati kekayaan laut melalui bisnis pariwisata dan usaha perikanan, tanpa merusak kelestarian ekosistemnya. Itu bukan urusan sepele. Tak mengherankan, Pemkab Wakatobi dengan senang hati menerima uluran kerja sama dari Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), lembaga internasional yang peduli pada kelestarian terumbu karang.
"Wakatobi adalah Coremap, Coremap adalah Wakatobi," kata Hugua menggambarkan eratnya hubungan dengan lembaga asing itu. Coremap membantu pemkab memasyarakatkan teknologi ramah lingkungan dalam pengelolaan sumber daya laut. Hasilnya, Pak Bupati mengklaim, kerusakan ekologi bisa ditekan. "Karena tidak ada bom ikan, racun sianida, orang bisa berenang di mana saja. Itu kerja Coremap," ujar Hugua.
Program Coremap di Wakatobi ada tiga tahap, dan kini sudah masuk tahap kedua. Seperti tampak di Kampung Samabahari --40 menit dengan kapal motor dari Wanci-- ibu kota Wakatobi yang ada di Pulau Wangiwangi, Coremap tak cuma melarang pemakaian bom dan sianida atau mengutuk pencurian ikan napoleon dan pengambilan karang laut.
Petugas lapangan Coremap juga melatih mereka menangkap ikan dengan cara yang lebih aman bagi ekosistem, seraya merawat karang laut sebagai habitat ikan. Hasilnya, "Populasi ikan malah naik 20%," kata Hugua. Rakyat pun dilatih menangani usaha budi daya ikan dan rumput laut serta penanganan pasca-panennya.
"Kita tangkap ikan itu harus, karena kita harus cari makan. Tapi jangan kau pakai bom atau bius. Jangan pula tangkap napoleon! Itu dilarang," tutur Rustam, pria Bajo berusia 39 tahun yang menjadi petugas lapangan Coremap. Apalagi, menurut Rustam, yang juga tokoh setempat, bagi orang Bajo yang banyak bermukim di Wakatobi, laut adalah saudara mereka. "Laut adalah abang orang Bajo. Tak mungkin mereka rusakkan karang," katanya.
Bupati Hugua pun pantang berkompromi dengan para perusak laut. "Jangan coba bikin rusak karang di Wakatobi. Berani coba, masuk penjara!" ia mengancam. Penggunaan bom, misalnya, kata Hugua, hanya memberi hasil sekali pukul. Namun ia meninggalkan kerusakan luar biasa. Karang laut mati, ekosistem porak-poranda, dan ikan-ikan pergi. "Kalau itu terjadi, kita semua susah," ujarnya.
***
Yang masih jadi ganjalan bagi Hugua adalah bagaimana membuka Wakatobi bagi wisatawan umum. Mencapai kawasan surga laut ini tidak semudah pergi ke Pulau Bali, misalnya. Untuk berlibur ke Wakatobi, diperlukan perjuangan berat, khususnya bagi turis biasa. Mereka harus transit di Makassar, lalu terbang 45 menit lagi ke Kendari. Dari ibu kota Sulawesi Tenggara itu, perjalanan dilanjutkan dengan kapal motor ke Wanci selama sembilan jam. Melelahkan!
Kalau mau jalur cepat, ya, langsung ke Pulau Tomia. Di sana ada air-strip yang bisa didarati pesawat ringan. Namun jalur penerbangan Denpasar-Tomia dan Kendari-Tomia, seperti dikatakan Bupati Hugua, praktis dikuasai Wakatobi Dive Resort, yang mengoperasikan pondok wisata di Pulau Onemooba. Pulau mungil tak jauh dari air-strip Tomia itu telah 10 tahun menjadi tujuan wisata penggemar selam.
Namun Lorenz Mader, pengusaha asal Swiss yang menjadi pemilik resor itu, mungkin juga tidak salah-salah amat. Ia telah menanamkan modal untuk membangun Onemooba dan infrastruktur di Tomia bagi usahanya. Maka, jalur penerbangan yang dirintisnya pun digunakan untuk membawa tamunya ke Onemooba, pulau yang resmi disewanya dari pemerintah untuk jangka waktu 30 tahun.
Sebagai pengusaha, Lorenz pun cekatan. Ia mau berpromosi ke sana-kemari. Pada ajang promosi wisata laut di Orlando, Amerika Serikat, tahun lalu, ia membuka pavilyun promosi sebesar ruang pamer yang disewa Pemerintah Indonesia. Hugua kesal. "Orang di sana tahunya Wakatobi itu milik Lorenz," ujarnya, jengkel.
Apa pun, Aris Kabul, Asisten Direktur Public Awareness Coremap II, mengakui bahwa dalam hal konservasi laut, Lorenz boleh diacungi jempol. "Dia pelihara betul Pulau Onemooba. Karang-karang dan ikan-ikannya terjaga untuk wisatawan yang ingin snorkelling atau diving. Tapi, dari aspek bisnis, dia monopoli," kata Aris.
Toh, Hugua menyadari bahwa itu risiko bisnis. Hanya saja, dia tidak mau kalah. Ia mendirikan resor tandingan di Pulau Hoga. Untuk membuka akses ke sana, ia membangun bandar udara dekat kota Wanci di Pulau Wangiwangi. Sasarannya, ada penerbangan reguler dari Denpasar, Makassar, dan Manado ke Wakatobi.
Turis yang datang ke Wakatobi pada 2007 ini diperkirakan 3.000 orang. Sebagian besar tentu menjadi tamu Wakatobi Dive Resort, yang memasang tarif US$ 1.940 untuk tamu yang menginap seminggu dan US$ 2.840 untuk tamu yang mengambil pakel 11 hari. Bila Matohara, begitu nama yang disiapkan untuk bandara baru itu, sudah beroperasi, Hugua yakin bisa menjaring 50.000 turis asing. Matohara pun disebutnya pintu surga. [Edward Luhukay]